Setelah satu bulan lebih dilanda kemarau, tiba-tiba pada Kamis (11/2) sekira pukul 11.00 WIB turun “hujan aneh” di Desa Seuneubok, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue. Air hujan yang jatuh ke atap seng enam rumah penduduk desa itu, saat ditampung ternyata berwarna merah marun, nyaris mirip warna darah. Warga pun gempar karenanya. Hingga kemarin siang, ramai penduduk Simeulue yang masih membincangkan hal itu, karena mereka duga merupakan fenomena alam yang sangat langka. Apalagi ada di antara warga yang mengaitkan kejadian itu dengan takhayul, mistik, di samping ada pula yang menduga sebagai debu meteor atau sel hidup dari makhluk alien (ET) yang terlepas ke atmosfer lalu jatuh ke bumi bersama turunnya hujan. (Baca: Tetesan Darah dari Langit)
Sebelumnya, memang tidak terdengar melalui kisah-kisah para leluhur bahwa di Simeulue pernah terjadi hujan merah, seperti yang pernah terjadi di Kerala, India, tahun 2001. “Tapi tentang terjadinya tsunami yang kami sebut smong di Simeulue pada tahun 1907, itu memang sering dikisahkan dari generasi ke generasi, sehingga kami tahu begitu gempa besar terjadi, biasanya akan disusul oleh smong. Maka kami pun lari ke bukit,” ujar Rahimuddin (29), warga Salur, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue. Sepanjang usianya, kata Rahimuddin, baru kemarin untuk pertama kalinya dia dengar ada air hujan berwarna merah. Dan itu terjadi di Desa Seuneubok yang satu kecamatan dengan tempat tinggalnya.
Desa itu berjarak 18 kilometer ke arah selatan Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue. “Sebagian besar warga Teupah Selatan masih penasaran dengan kejadian hujan merah itu, karena tak pernah terjadi sebelumnya,” kata Rahim saat dihubungi Serambi per telepon dari Banda Aceh tadi malam. Ia tambahkan bahwa benar sudah lumayan lama tak turun hujan di Simeulue. Minggu lalu ada turun hujan di beberapa kecamatan, tapi hanya sebentar. “Itu pun putus-putus. Di desa yang sama ada lokasi yang diguyur hujan, tapi ada yang tidak. Padahal, jaraknya hanya beberapa meter. Ini jarang terjadi sebelumnya,” ungkap Rahim.
Diduga seng luntur
Sementara itu, Abdul Karim, Kabag Humas Pemkab Simeulue yang dihubungi per telepon dari Banda Aceh tadi malam mengatakan, peristiwa hujan merah itu hanya menjadi misteri sekitar 24 jam. “Saat kejadian dan hingga pagi kemarin warga memang sempat gempar karena sebelumnya tak pernah terjadi hujan merah di sini. Malah dari ibu kota kabupaten sempat turun ke lokasi hujan merah itu Sekda Simeulue Drs Riswan R bersama Kabag Umum Irwan Basyir. Tapi, setelah seorang dokter meneliti sampel air itu kemarin siang, teka-teki tentang air merah itu pun mulai terjawab,” ujar Karim. Dokter yang dimaksud Karim adalah Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Simuelue, Armidin. Ia memeriksa di laboratorium dinkes setempat sebotol sampel air hujan berwarna merah yang kebetulan ditampung salah seorang warga Seuneubok, Teupah Selatan, saat hujan mengguyur atap rumahnya.
Hujan itu hanya berlangsung sekitar lima menit, sejak pukul 11.00 WIB, Kamis siang. Kebetulan di Seuneubok rumah penduduknya jarang-jarang, sehingga dari tujuh rumah yang diguyur hujan, hanya enam rumah yang air cucuran atapnya merah. Rumah-rumah tersebut adalah rumah bantuan untuk korban gempa/tsunami yang dibangun UN Habitat pada 2008. Semua rumah itu beratap seng genteng warna merah marun. Dokter Armidin menduga, setelah sekian lama diterpa terik matahari, tiba-tiba terjadi hujan, lapisan terluar cat seng genteng dari enam rumah itu pun luntur dan menguap, lalu bercampur dengan air hujan, sehingga air yang ditampung dari cucuran atap itu semuanya berwarna merah.
Asumsi itu dibangun dr Armidin, setelah sampel air yang dia periksa ternyata tidak mengandung zat polutan berbahaya, tidak ada sel hidup, melainkan hanya mengandung zat besi campur partikel zat pewarna. Itu terjadi, menurut Armidin kepada Kabag Humas Pemkab Simeulue, karena setelah kemarau sekian lama, terjadi penguapan warna dari atap seng genteng yang berwarna merah itu. Ketika hujan turun, maka partikel zat besi dan zat pewarna itu tercampur (mixing), sehingga hujannya berwarna merah.
Sebelum diperiksa di laboratorium, kata Abdul Karim, sampel air yang ditampung pemilik rumah bantuan itu agak bau, seperti aroma belerang (sulfur). “Tapi, setelah diperiksa Dokter Armidin, ternyata penyebab air hujan itu jadi merah justru karena bercampur dengan partikel uap seng genteng yang memang berwarna merah marun,” kata Karim. Secara kasat mata, lanjut Karim, warna air hujan yang turun dari cucuran atap enam rumah warga itu memang merah. Tapi ia kurang sependapat bila disebut merahnya dominan, sehingga mirip darah. “Merah iya, tapi merahnya lebih muda. Karena warnanya merah, lalu cerita yang berkembang dari mulut ke mulut pun menyebutkan warnanya mirip darah, padahal nggak begitu mirip,” tegas Karim.
Begitupun, Karim menerima jalan pikiran dan kesimpulan dr Armidin yang menguji sampel hujan merah itu di labkes setempat. Sebab, dari tujuh rumah yang diguyur hujan siang itu di Desa Seuneubok, hanya enam yang air dari cucuran atapnya berwarna merah. “Atap rumah yang satu itu juga beratap seng genteng merah, tapi saat hujan lokal menerpanya, warna hujannya tidak berubah jadi merah,” demikian Karim. Seorang warga Teupah Selatan lainnya yang menghubungi Serambi tadi malam menambahkan bahwa sebelum kejadian “hujan merah”, di kecamatan itu terjadi kemarau panjang dan ditemukan sebutir telur ayam yang pada kulitnya ada bercak yang bila diamati bertuliskan “Allah”. Warga Teupah Selatan pun pernah heboh dua pekan lalu, karena pada satu sore menjelang matahari tenggelam, mereka dapati awan berbentuk lafaz Allah.
Sebelumnya, memang tidak terdengar melalui kisah-kisah para leluhur bahwa di Simeulue pernah terjadi hujan merah, seperti yang pernah terjadi di Kerala, India, tahun 2001. “Tapi tentang terjadinya tsunami yang kami sebut smong di Simeulue pada tahun 1907, itu memang sering dikisahkan dari generasi ke generasi, sehingga kami tahu begitu gempa besar terjadi, biasanya akan disusul oleh smong. Maka kami pun lari ke bukit,” ujar Rahimuddin (29), warga Salur, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue. Sepanjang usianya, kata Rahimuddin, baru kemarin untuk pertama kalinya dia dengar ada air hujan berwarna merah. Dan itu terjadi di Desa Seuneubok yang satu kecamatan dengan tempat tinggalnya.
Desa itu berjarak 18 kilometer ke arah selatan Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue. “Sebagian besar warga Teupah Selatan masih penasaran dengan kejadian hujan merah itu, karena tak pernah terjadi sebelumnya,” kata Rahim saat dihubungi Serambi per telepon dari Banda Aceh tadi malam. Ia tambahkan bahwa benar sudah lumayan lama tak turun hujan di Simeulue. Minggu lalu ada turun hujan di beberapa kecamatan, tapi hanya sebentar. “Itu pun putus-putus. Di desa yang sama ada lokasi yang diguyur hujan, tapi ada yang tidak. Padahal, jaraknya hanya beberapa meter. Ini jarang terjadi sebelumnya,” ungkap Rahim.
Diduga seng luntur
Sementara itu, Abdul Karim, Kabag Humas Pemkab Simeulue yang dihubungi per telepon dari Banda Aceh tadi malam mengatakan, peristiwa hujan merah itu hanya menjadi misteri sekitar 24 jam. “Saat kejadian dan hingga pagi kemarin warga memang sempat gempar karena sebelumnya tak pernah terjadi hujan merah di sini. Malah dari ibu kota kabupaten sempat turun ke lokasi hujan merah itu Sekda Simeulue Drs Riswan R bersama Kabag Umum Irwan Basyir. Tapi, setelah seorang dokter meneliti sampel air itu kemarin siang, teka-teki tentang air merah itu pun mulai terjawab,” ujar Karim. Dokter yang dimaksud Karim adalah Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Simuelue, Armidin. Ia memeriksa di laboratorium dinkes setempat sebotol sampel air hujan berwarna merah yang kebetulan ditampung salah seorang warga Seuneubok, Teupah Selatan, saat hujan mengguyur atap rumahnya.
Hujan itu hanya berlangsung sekitar lima menit, sejak pukul 11.00 WIB, Kamis siang. Kebetulan di Seuneubok rumah penduduknya jarang-jarang, sehingga dari tujuh rumah yang diguyur hujan, hanya enam rumah yang air cucuran atapnya merah. Rumah-rumah tersebut adalah rumah bantuan untuk korban gempa/tsunami yang dibangun UN Habitat pada 2008. Semua rumah itu beratap seng genteng warna merah marun. Dokter Armidin menduga, setelah sekian lama diterpa terik matahari, tiba-tiba terjadi hujan, lapisan terluar cat seng genteng dari enam rumah itu pun luntur dan menguap, lalu bercampur dengan air hujan, sehingga air yang ditampung dari cucuran atap itu semuanya berwarna merah.
Asumsi itu dibangun dr Armidin, setelah sampel air yang dia periksa ternyata tidak mengandung zat polutan berbahaya, tidak ada sel hidup, melainkan hanya mengandung zat besi campur partikel zat pewarna. Itu terjadi, menurut Armidin kepada Kabag Humas Pemkab Simeulue, karena setelah kemarau sekian lama, terjadi penguapan warna dari atap seng genteng yang berwarna merah itu. Ketika hujan turun, maka partikel zat besi dan zat pewarna itu tercampur (mixing), sehingga hujannya berwarna merah.
Sebelum diperiksa di laboratorium, kata Abdul Karim, sampel air yang ditampung pemilik rumah bantuan itu agak bau, seperti aroma belerang (sulfur). “Tapi, setelah diperiksa Dokter Armidin, ternyata penyebab air hujan itu jadi merah justru karena bercampur dengan partikel uap seng genteng yang memang berwarna merah marun,” kata Karim. Secara kasat mata, lanjut Karim, warna air hujan yang turun dari cucuran atap enam rumah warga itu memang merah. Tapi ia kurang sependapat bila disebut merahnya dominan, sehingga mirip darah. “Merah iya, tapi merahnya lebih muda. Karena warnanya merah, lalu cerita yang berkembang dari mulut ke mulut pun menyebutkan warnanya mirip darah, padahal nggak begitu mirip,” tegas Karim.
Begitupun, Karim menerima jalan pikiran dan kesimpulan dr Armidin yang menguji sampel hujan merah itu di labkes setempat. Sebab, dari tujuh rumah yang diguyur hujan siang itu di Desa Seuneubok, hanya enam yang air dari cucuran atapnya berwarna merah. “Atap rumah yang satu itu juga beratap seng genteng merah, tapi saat hujan lokal menerpanya, warna hujannya tidak berubah jadi merah,” demikian Karim. Seorang warga Teupah Selatan lainnya yang menghubungi Serambi tadi malam menambahkan bahwa sebelum kejadian “hujan merah”, di kecamatan itu terjadi kemarau panjang dan ditemukan sebutir telur ayam yang pada kulitnya ada bercak yang bila diamati bertuliskan “Allah”. Warga Teupah Selatan pun pernah heboh dua pekan lalu, karena pada satu sore menjelang matahari tenggelam, mereka dapati awan berbentuk lafaz Allah.
0 komentar:
Posting Komentar
Dilarang keras membuat SPAM pada setiap komentar diblog ini