Trending Topic

KONTROVERSI SUSNO DUADJI

Posted by agus darlis On Jumat, 14 Mei 2010 0 komentar
Kesaksian mantan Kabareskrim Susno Duadji dalam persidangan Antasari mengundang kontroversi. Akibatnya,fasilitas sopir dan mobil ditarik. Kapolri membentuk tim khusus untuk mengkaji kehadirannya. Selalu ada yang pro dan kontra terhadap kejadian serupa ini. Akankah Susno Duadji berhenti dari Polri?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kontroversi sebagai perdebatan, persengketaan, pertentangan. Agaknya dalam kasus Susno terjadi ketiga-tiganya: diperdebatkan, disengketakan dan dipertentangkan. Susno Duadji memang kontroversi. Dimulai dari penampilan hingga kepada “kelakuannya” memang seringkali mengundang kontroversi. Tengok saja berbagai perjalanan jabatannya, terutama sejak menjabat Kapolda hingga Kabareskrim.
Suatu waktu saya menjadi moderator dalam diskusi tentang money laundering. Saya lupa tanggal pastinya. Tetapi seminar itu berlangsung disalah satu hotel terkenal di Palembang. Salah satu pembicaranya cukup meledak-ledak. Lugas,mudah difahami,tidak bertele-tele. Kagum juga saya dengan pembicara itu. Sewaktu acara makan kami duduk satu meja. Tanpa ragu saya bertanya “pak Susno dari Jawa mana?” Kaget juga ketika pembicara dari PPATK itu menjelaskan kepada saya sebagai putra asli Sumatera Selatan.
Saya tidak bermaksud bicara kesukuan. Tetapi kenyataannya memang suku/asal seseorang terkadang erat kaitan dengan sepak terjangnya. Pemimpin kita telah mempertontonkan bagaimana sepak terjang masing-masing yang jelas dipengaruhi latar belakang budayanya. Jika seandainya ada yang menilai Susno Duadji adalah sosok yang kontroversial, mungkin erat kaitannya dengan lingkungan daerah dan keluarga yang membesarkan beliau. Suatu lingkungan daerah yang terbuka, direct, tanpa basa-basi sehingga menciptakan pribadi yang jujur dan berani.
Bagi sebagian, kelakuan Susno seringkali kontroversi. Dalam kasus Bibit-Chandra, publik terlanjur menduga dan memeliki persepsi “keterlibatan Polri.” Persepsi yang belum tentu benar. Dalam kondisi ini pastilah semua jajaran Polri diharapkan diam seribu bahasa. Irit bicara. Jika ingin berbicara harus terpola dan melalui satu pintu saja. Dalam kondisi Polri tiarap dan sensitif ini justru Susno “nyelonong disiang bolong,” muncul di persidangan Antasari.Berpakaian dinas lengkap. Gegerlah Indonesia. Mabes Polri seakan diguncang Tsunami. Inilah mungkin puncak kontroversi Susuno Duadji.
Apakah tindakan Susno Duadji yang hadir dipersidangan Antasari tergolong patut dipersalahakan? ataukah tindakan itu semata-mata dikarenakan beliau sakit hati dicopot dari Kabareskrim? Apalagi kemudian juga dikait-kaitkan dengan batalnya beliau menjadi Wakapolri, suatu jabatan yang dinilai banyak orang bahwa Susnolah yang pantas menduduki jabatan itu dengan berbagai alasan yang mendasarinya.
Ada beberapa hal yang ingin saya bahas. Pertama soal sosok kontroversi Susno Duadji. Bagi saya kontroversi tidak dikonotasikan negatif. Bahkan dalam hal tertentu “hentakan-hentakan” itu dibutuhkan ditengah-tengah negeri yang terus berbenah ini. Bayangkan, seandainya Indonesia hanya diisi oleh para pemimpin yang cuma mencari aman, tidak berani mengambil resiko (taking risk). Perilaku “biasa-biasa saja” dapat diterjemahkan kontroversial ditengah kelompok orang yang hanya ingin berteduh ditengah adem ayemnya kekuasaan. Menjadi sosok yang “meletup-letup” tanpa mengenal rasa takut,pastilah melahirkan kontroversi. Susno Duadji memamg memiliki pengalaman panjang sebagai polisi yang kontroversi.
Kita simak beberapa hal saja. Pertama, ketika beliau menjabat Kapolda Jawa Barat. Jabar dalam kondisi sangat rawan pungutan liar, termasuk dalam urusan lalu lintas. Susno mengumpulkan semua polisi terkait dengan bidang tugasnya. Mulai dari pangkat AKP hingga Kombes. Mereka diminta menandatangani fakta kesepakatan bersama untuk tidak pungli. Disaat itu pernyataan Susno yang terkenal “Jangan Pernah Setori Saya.” Kontroversial sekali karena kebijakan dan komentar itu menyodok kemana-mana. Termasuk menampar muka Polri.
Ditengah masyarakat dan para penggiat HAM wanti-wanti dengan kelakuan Polri yang ringan menembakkan senjatanya, justru Kapolda Susno Duadji “bikin sensasi.” Ia justru memerintahkan anak buahnya “tembak ditempat” terhadap para penjahat yang mencoba-coba melarikan diri dari kejaran polisi. Senjata polisi dibeli dari uang rakyat yang memang untuk menembak orang (jahat), bukan hanya untuk “petantang-petenteng. Jika pada saatnya gunakan senjata itu.Kalaupun salah tembak, soal sial saja” Bukankah ungkapan-ungakapan itu tergolong kontroversi? Namun dalam soal ketegasan, pastilah patut dipuji. Kenyataannya masyarakat menilai sebagian dari polisi kita memang agak lembek ketika harus bersikap keras. Akibatnya,masyarakat tak begitu berharap dengan tampilan polisi beserta berbagai persenjataannya.
Ketika menjadi Kabareskrim sosok kontroversi Susno Duadji tidak juga berhenti. Walaupun bagi saya, itulah watak Bhayangkara sejati yang tidak pernah memikirkan resiko duniawi yang mungkin terjadi. Susno kemudian mendapat gelar sebagai pencipta ungkapan “Cicak melawan Buaya.” Buaya diindentikkan dengan polisi dan cicak dianalogikan sebagai KPK. Ini berdasarkan pernyataan Susno “Ibaratnya disini buaya disitu cicak. Cicak kok melawan buaya.” Pernyataan yang kontroversial dan segera meledak, laku dijual dalam berbagai rupa.
Tanda-tanda Susno yang akan semakin berani sudah ada. Ketika diperiksa oleh Tim 8, ia mulai menunjukkan amarahnya karena dituduh menerima uang dalam jumlah milyaran rupiah dalam kasus Bank Century. Ia marah besar. Sumpahnya juga meledak di DPR-RI ketika dilakukan pertemuan antara jajaran Polri dengan para wakil rakyat. Garang dan kontroversi itu makin menjadi setelah (benar-benar) tidak aktif lagi sebagai Kabareskrim Polri. Ia diberhentikan melalui telegram rahasia bernomor 618/XI/2009 tanggal 24 November 2009. Susno “bernyanyi kemana-mana” di media secara luas. Tidak sedikitpun ada ekspresi takut darinya. Puncak kontroversi itu adalah dengan kesaksiannya dalam persidangan Antasari Kamis, 7 Januari 2010. Ia memenuhi panggilan bersaksi. Berpakaian lengkap. Kesaksian Jenderal berbintang tiga ditengah hiruk pikuk opini publik tentang Polri pastilah mengundang kontroversi.
Sebagaimana dugaan banyak orang, kehadiran Susno sebagai saksi Antasari menggegerkan dunia kepolisian. Pro dan kontra muncul ke permukaan. Jika semata-mata kedatangan itu memenuhi panggilan persidangan,tidak ada yang patut mempersalahkan Susno. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur tentang pentingnya keterangan saksi. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Lebih lanjut dalam Pasal 65 KUHAP mengatur “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.” Hukum juga dapat memaksa seseorang yang mangkir atas panggilan sebagai saksi atau siapa saja yang menghalang-halangi seseorang untuk bersaksi di pengadilan.
Dalam kasus Susno,para pengacara telah mengirimkan surat kepada Kapolri agar Susno diizinkan untuk memberi kesaksian dalam kasus Antasari. Kita juga mengetahui dari media bahwa Susno telah pula mengirimkan izin melalui SMS. Mungkin kedua hal ini telah menjadi cukup alasan baginya untuk menjalankan kewajiban hukumnya.
Namun demikian tentu persoalan menjadi tidak sesederhana itu apabila “terawangan” kita lebih luas lagi. Kehadiran Susno di persidangan menjadi soal bukan hanya semata-mata soal izin itu. Kita sedang menyaksikan “peperangan internal” yang hebat ditubuh Polri. Tengoklah insiden spanduk di Mabes Brimob Kelapa Dua ketika berlangsung suatu upacara besar tahun lalu. Ada spanduk yang dengan terang-terangan memberikan dukungan kepada Kapolri Bambang Hendarso. Apa perlu suatu satuan dibawah komando menuliskan kata-kata semacam itu? Tafsirannya bisa kemana-mana.
Susno memiliki jasa besar dilingkungan kepolisian. Berbagai prestasi diukirnya. Ketika menjadi Kapolda Jawa Barat, persepsi masyarakat terhadap polisi meningkat. Jika benar informasi yang ada, disaat menjabat sebagai Kabareskrim ia berhasil mengembalikan uang negara sekitar 15 trilliun rupiah, lebih dari dua kali lipat dana talangan bank Century yang “hanya” Rp 6,7 trilliun itu. Tapi prestasi ini jarang dibicarakan. Malah ia dituduh kejipratan dana Rp 10 milyar dari urusan bank Century.
Susno Duadji sosok kontroversial sekaligus fenomenal. Tak jarang bertindak “nyeleneh” dan beresiko. Reformasi di tubuh Polri memang harus dipenuhi dengan tindakan nyata yang tak jarang memunculkan multi tafsir. Kini tidak banyak lagi pribadi yang berani. Mereka tergadai dengan jabatan, terpatri dengan materi. Tindakan Susno jelas-jelas berhadapan dengan kelompok Polri yang tak sepenuhnya menerima perubahan. Membuka tabir kebenaran lebih bermakna ketimbang selembar surat izin. Jika benar Kapolri seorang reformis, persoalan ini tidak berkembang “kemana-mana.” Kalaupun sikap Susno dinilai kontroversi, pertanyaannya apakah Susno Duadji baru hari ini saja tampil sebagai sosok kontroversial? Mestinya pimpinan Polri menyikapinya secara bijak. Bukan dengan pembentukan tim pemeriksa. Apalagi andaikan endingnya nanti sidang Kode Etik Polri dengan pemberhentian Susno Duadji dari anggota Polri. Jangan-jangan justru kontroversi itu baru saja dimulai.(*)
sumber : rahmat aprianto

0 komentar:

Posting Komentar

Dilarang keras membuat SPAM pada setiap komentar diblog ini